Review Novel : Nostalgia Masa Putih Abu-Abu melalui “Dia, Tanpa Aku” karya Esti Kinasih.
Review Novel : Nostalgia Masa Putih Abu-Abu melalui “Dia,
Tanpa Aku” Karya Esti Kinasih.
Identitas buku
Judul : Dia, Tanpa Aku
Penulis : Esti Kinasih
Tanggal Penerbit : Januari 2008
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 280
Untuk penggemar novel modern-terutama teenlit,
tentu nama Esti Kinasih sudah tidak asing lagi bukan? Itulah yang membuatku
tanpa berpikir panjang untuk meminjam buku ini di sebuah penyewaan buku.
Sebelumnya, aku sudah membaca trilogi series Esti Kinasih berjudul
‘Jingga dan Senja’ dan Fairish yang
langsung membuatku jatuh cinta. Salah satu keunggulan dari karya-karya Esti
Kinasih adalah judulnya yang menarik, ceritanya ringan dan sederhana, diksi
yang mudah dipahami dan berhasil mengaduk emosi.
Novel yang diterbitkan oleh gramedia ini memiliki dua
cover yang berbeda. Cover pertama didominasi warna gelap-hijau tua dan cokelat
yang di tengahnya terdapat seorang laki-laki dan perempuan yang sedang saling
menatap-tanpa berbicara. Perempuan itu berbaju kuning dan rambutnya diikat
berponi-seperti tokoh Citra yang senang mengikat rambutnya asal-asalan dan
membuat beberapa rambutnya terlepas dari ikatan. Desain cover ini terlihat
cukup jadul karena diterbitkan pada Januari 2008. Sedangkan cover kedua
didominasi dengan warna cerah, yaitu putih abu-abu untuk jalan dan ungu untuk
bangunan. Terdapat setangkai mawar putih-yang melambangkan bunga kesukaan Citra
yang digenggam Ronald hingga ia pergi- di jalan tersebut. Di pertigaan,
terdapat mobil berwarna merah yang sebagian tertutup bangunan berwarna
ungu-seakan menggambarkan terjadinya kecelakaan mobil di jalan tersebut. Jika
dilihat dari desainnya, cover kedua ini terlihat lebih modern karena
dicetak kembali oleh penerbit yang sama pada 2015.
Seperti karya Esti Kinasih lainnya, novel berjudul ‘Dia,
Tanpa Aku’ ini mengalir begitu saja tanpa terasa. Alur yang disajikan cukup
menarik dan membuat aku serasa kembali berada di masa sekolah. Meskipun begitu,
emosi yang dikeluarkan terasa kurang karena kurangnya penjabaran lebih,
misalnya penggambaran suasana hati Citra yang tiba-tiba cemas saat Reinald akan
menjemputnya-tidak ada konotasi yang membuat pembaca merasa wow karena penulis
hanya menjelaskan apa yang Citra lakukan dengan makna denotasi (sebenarnya)
bukan konotasi (kiasan). Suasana dari para tokohnya juga terasa terlalu
cepat, misalnya bagian ini Citra sedih, namun tak lama suasana hatinya menjadi lebih
riang setelah mencipratkan kubangan air kepada temen-temannya-sehingga aku
kurang mendapatkan feel tersebut dari tokohnya.
Alur yang digunakan oleh penulis adalah alur maju
(hati-hati, bagian ini mengandung spoiler!), di mana terdapat pengenalan
situasi-saat menceritakan tokoh Ronald sangat menyukai Citra hingga membuatnya gila
dan bodoh, pengenalan konflik-saat di mana Ronald meninggal dunia dan
Reinald menyalahkan Citra atas kematian kakaknya, klimaks-di mana ‘Ronald’
kembali dan Reinald merasa sangat bersalah karena telah mencintai cewek kakaknya,
antiklimaks-di mana ‘Ronald’ mengatakan bahwa ia tidak membenci adiknya melalui
Radio, dan penyelesaian-di mana Citra sudah mengetahui tentang Ronald bahkan
mengunjungi makamnya.
Selain alurnya yang unik, ada beberapa bagian yang
membuat terkejut-namun aku rasa beberapa hal tersebut terasa membingungkan, seperti
kehadiran laki-laki misterius yang menabrak Citra dan kuncup mawar putih yang
terjatuh karenanya. Apalagi kehadiran Ronald yang tiba-tiba di
radio-bahkan berbicara dengan adik dan sahabatnya terasa bukan kebetulan yang bisa dinalar. Hingga halaman terakhir, aku
bertanya-tanya, bisakah orang yang telah mati, hidup kembali? Pada
bagian awal juga membingungkan. First time Ronald bertemu Citra hingga
laki-laki itu jatuh cinta dan tergila-gila tidak diceritakan sama sekali.
Apalagi, Citra yang tidak mengenal laki-laki itu sedikitpun. Aku pikir, kedua
orang itu pernah bertemu sebelumnya-saat mereka masih kecil- sehingga Ronald
jatuh cinta kepadanya-namun Citra melupakan hal tersebut. Namun nyatanya,
hingga di halaman terakhir, tidak ada penjelasan apapun tentang itu.
Sebenarnya aku tidak begitu menyukai ketiga tokoh utama-Ronald
yang menurutku sangat berlebihan terhadap Citra-mungkin karena aku pribadi tidak
pernah se-bucin itu sebelumnya jadi aku belum bisa memahaminya, Citra
yang sangat egois karena keisengannya membuat banyak orang sakit hati bahkan
sampai dimarahi habis-habisan oleh guru killer dan dipermalukan di
hadapan seluruh temannya-menurutku keisengan Citra berlebihan dan aku sangat
senang saat Dodit membalaskan dendam berharap Citra sadar bahwa perbuatannya
itu merugikan orang lain-namun ternyata tidak, dan Reinald yang juga terlalu bucin
hingga selalu membela Citra padahal ia tahu Citra salah sehingga gadis itu
masih sering mengisengi temannya-meski begitu, alasan Reinald sempat dijelaskan
seiring berjalannya cerita.
Karakter yang paling aku sukai dalam tokoh ini adalah
Andika dan ibu Citra. Meskipun tidak banyak diceritakan, Andika merupakan kawan
terbaik Ronald. Ia bahkan rela ikut memakan bekal agar menemani sahabatnya
untuk berhemat. Ia juga setia mendengar curahan hati Reinald tentang kakaknya
dan Citra. Di usianya yang masih remaja, ia begitu dewasa-ia memahami perasaan
Reinald namun tidak menghakimi laki-laki itu, malah ia membantu Reinald untuk
menyembuhkan luka itu. Sedangkan ibu Citra, ia merupakan wanita yang bijak
dalam memberi nasehat kepada putrinya. Saat putrinya bersikap aneh karena jatuh
cinta-ia membiarkan putrinya-bahkan menggodanya. Padahal, seorang ibu yang
bisa memosisikan diri sebagai seorang teman seperti itu cukup langka
ditemukan. Terkadang, ibu Citra bisa menjadi seorang teman-yang menggoda putrinya
yang sedang jatuh cinta- atau menjadi seorang ibu-yang dengan bijaksananya
menasehati anaknya tanpa menggurui sedikitpun.
Salah satu hal yang kurang aku sukai juga adalah pada
bagian awal, penulis seakan menjadikan Ronald sebagai tokoh utama-karena
banyak sekali menceritakan tentang Ronald-bagaimana ia begitu menyukai Citra,
rela berhemat untuk tampil sempurna di hadapan Citra, perasaan Ronald saat memikirkan
Citra, dan lain-lain tentang Ronald. Namun di bagian pertengahan-tepatnya saat
Ronald pergi-penulis seakan mengganti peran utama itu kepada Reinald dan
Citra sehingga aku-sebagai pembaca sempat bingung sebenarnya fokus utama cerita
berada pada tokoh yang mana.
Aku juga sedikit kecewa dengan ending, karena aku rasa ending terkesan terburu-buru dan membingungkan. Tidak ada penjelasan apapun mengenai siapa laki-laki misterius yang mengaku sebagai Ronald-apakah ia Ronald yang asli atau bukan-dan itu membuatku bertanya apakah ini sudah ending? Saat halaman buku terakhir pun, aku masih berharap akan ada kelanjutan mengenai cerita, karena dalam hidup, tidak ada namanya orang mati-sudah dikubur pula hidup kembali bukan? Kecuali itu imajinasi dan fantasi manusia belaka. Kalaupun itu hanya imajinasi salah satu tokoh, mungkinkah itu terjadi kepada tiga orang langsung? Pada scene terakhir, adegan di mana Citra dan Reinald mengunjungi makam Ronald, perasaan keduanya tidak dijelaskan lebih rinci dan membuat pembaca bertanya-tanya, apa yang mereka pikirkan dan rasakan-terutama Citra yang baru tahu kebenarannya?
Seperti Novel-novel lainnya, ada banyak nilai kehidupan
yang bisa diambil dari tulisan Esti Kinasih ini. Salah satunya adalah setiap
kesulitan pasti ada kemudahan karena Tuhan telah mengaturnya seperti itu. Oleh karena
itu, percaya kepada takdir Tuhan bahwa apa yang terjadi kepada kita adalah
rencanya-Nya dan jangan pernah meragukan itu.
Akan selalu ada jalan keluar
untuk setiap permasalahan. Pasti. Karena Tuhan telah mengaturnya seperti itu. Dan
jalan keluar yang disediakan Tuhan agar bisa membeli kaus dan jins yang diincarnya,
yang sebenarnya terlalu mahal untuk uang sakunya dan akan memerlukan waktu
menabung cukup lama, adalah dengan cara berjualan lontong dan bakwan. (2008 :
39)
Selain itu, dari kasus pak Hidayat yang salah menuduh
Ronald dan Andika membuktikan bahwa sebelum memberitahu rumor tentang hal yang
kita tidak yakin, maka buktikan dulu kebenarannya-agar tidak menjadi
kesalahpahaman. Untung saja, dalam kasus tersebut tidak berimbas lebih besar kepada
korban-Ronald dan Andika yang dituduh menjualbelikan narkoba hanya karena selalu
pergi ke tempat sepi setiap makan siang. Begitupula sebelum menghakimi orang
lain. Seseorang-apalagi bagi seseorang yang lebih tua-harus mendengarkan
terlebih dahulu situasinya dari semua pihak-dan mempertimbangkan semuanya-bukannya
ngotot langsung menyalahkan dan tidak mau menerima penjelasan dari orang
tersebut.
“Kalian dengar ya!” ucapnya penuh
tekanan. “Lebih baik kalian bicara terus terang, sekarang! Sebelum berita ini
tersebar dan membuat kita malu.”
“Emangnya kami berdua kenapa sih, Pak? Mentang-mentang tampang kami pas-pasan, nggak ganteng, trus dibilang udah bikin malu sekolah. Itu kan nggak adil. Orang dari sana dikasihnya udah begini kok.” (2008 : 35)
[...]
“Apa itu di dalam tas kamu?”
tanyanya.
“Lontong, Pak. Sama dengan yang
saya makan bareng sama temen saya tadi.”
“Lontong apa? Lontong ganja?
Lontong shabu-shabu? Putaw? Inex?”
“Kok Bapak kejam banget sih, nuduh kami transaksi narkoba, di sekolah pula, Pak?” ucap Ronald, dengan nada tersinggung yang tidak disembunyikan. (2008 : 35)
[...]
“Kalau cuman untuk makan, kenapa
harus di tempat yang tersembunyi begitu?”
“Ya kan malu, Pak. Masa bawa
bekal dari rumah? Kayak anak TK aja. Apalagi kalo sampai ketahuan cewek-cewek,
bisa nggak bakalan laku nih kami berdua. Lagian kalo makan nggak di tempat yang
ngumpet atau sepi, nanti kami pasti diminta temen-temen. Kan mau nggak mau kami
terpaksa bagi. Masa mau dimakan sendiri? Dan kalo dibagi-bagi, mana kenyang?”(2008
: 36)
Dari ketiga cuplikan yang saling berkaitan itu, terlihat
bahwa bapak kepala sekolah, Pak Jusuf langsung menghakimi Ronald dan
Andika-kedua muridnya yang mencurigakan karena setiap istirahat makan siang
pergi ke tempat sepi berdua. Rumor itu berasal dari Pak Hidayat yang melihat
mereka dan memberitahukan kepada kepala sekolah. Seharusnya, mereka
mengonfirmasi terlebih dahulu kepada kedua muridnya-Ronald dan Andika dan tidak
langsung menghakimi mereka. Meskipun begitu, mereka berdua cukup
bertanggungjawab karena meminta maaf atas kekhilafan yang telah mereka lakukan
kepada kedua muridnya.
Selain itu, dari tokoh Citra pembaca bisa belajar bahwa
bercanda memang boleh, namun tidak keterlaluan hingga membuat korban atau
orang lain dirugikan. Dari Citra-yang terkenal iseng, membuat banyak
teman-temannya marah dan dongkol-dari mencipratkan genangan air yang kotor ke teman-temannya hingga membuat Didot dimarahi guru menunjukkan bahwa sebelum bertindak-apalagi
bercanda, pikirkan terlebih dahulu dampaknya. Kita tidak akan tahu hati seseorang
seperti apa, bisa jadi ia mendendam dan merencakan akan membahayakan kita
sendiri. Hal serupa terjadi kepada Citra saat ia membuat Didot dimarahi
habis-habisan oleh Pak Asril di hadapan semua temannya di kelas. Didot sangat
marah kepada Citra dan malu di hadapan seluruh teman di kelasnya. Ia pun
merencakan membalas dendam dengan mempermalukan Citra juga.
Didot menoleh. Ditatapnya Ian
dengan dongkol. Tatapannya kemudian beralih ke Citra. Lebih dongkol lagi.
“Awas lo, Cit, ya. Tunggu pembalasan
gue!” ancamnya. Entah sudah berapa puluh kali Didot melontarkan ancaman itu. Sampai
saat ini yang bisa dilakukannya memang hanya sebatas mengancam. (2008 : 168)
Selanjutnya,
dari ibu Citra kita bisa belajar bahwa menjadi ibu itu tidak mudah-harus pintar
memosisikan diri sesuai situasi dan kondisi. Seorang ibu terkadang harus
menjadi teman agar anaknya merasa nyaman bercerita. Terkadang lagi ibu
harus menjadi ibu yang menasihati anaknya tanpa menggurui. Semua ibu itu
hebat. Namun alangkah baiknya jika berhasil membuat anak nyaman saat bercerita
dengannya bukan?
Jadi
malam ini Citra tidak belajar, karena sibuk mempercantik diri. Sibuk dan heboh,
hingga menarik perhatian kedua orang tuanya, apalagi sang mama. Mama Citra
hanya memerhatikan tingkah anaknya itu dengan senyum. Tidak berusaha melarang
karena ini bagian dari proses yang memang harus dilalui setiap anak. (2008 :
186)
.....
“Kamu nggak merhatiin dia, atau yang penting buat kamu dia ada?”
Citra makin tertegun. Ditatapnya sang
mama dalam keterpanaan. Wanita itu tersenyum semakin lebar, kemudian balik badan,
berjalan ke arah dapur sambil bicara, lagi-lagi dengan nada sambil lalu.
“Buat cowok itu begitu juga. Yang
penting kamu ada.”
Kedua cuplikan tersebut adalah beberapa bukti yang
menggambarkan peran ibu Citra tersebut yang mana ia berhasil memahami Citra dan
Reinald hanya dengan melihat kedekatan mereka. Saat mengucapkannya pun, tidak
ada kesan menggurui sehingga Citra merasa nyaman bercerita dengannya.
Hal
terakhir yang bisa kupelajari dari novel ini adalah sesuatu yang berlebihan itu
tidak baik-apapun itu termasuk menyukai seseorang. Seperti Ronald, ia yang terlalu
mencintai Citra membuat dirinya bodoh dan ceroboh-bahkan sampai tidak menyadari
bahwa sebuah mobil menabraknya. Memang bukan salah keduanya, namun jika saja
Ronald bisa mengendalikan dirinya dan lebih fokus di jalan, mungkin kejadian
itu tidak terjadi. Begitupun Reinald, cintanya kepada Citra membuatnya menjadi lelaki
yang posesif dan membuat banyak pihak tidak nyaman-Citra sendiri dan
teman-temannya. Segala hal yang kita lakukan dan rasakan-cobalah untuk
mengontrolnya seperlunya dan tidak berlebihan.
Secara keseluruhan, teenlit ini cocok-cocok saja
dibaca untuk mengisi waktu luang, mencari cara merubah suasana hati-mood
dan mencari hiburan-karena memang ada unsur humornya. Namun, untuk pembaca yang
menyukai novel nyastra banget-tulisan puitis dan mengandung banyak
konotasi-cerita ini bukan rekomendasi. Hal ini dikarenakan tulisan yang digunakan
sederhana dan tidak mengharuskan banyak berpikir tentang artinya. Jika boleh
jujur, aku lebih menyukai novel Esti Kinasih lainnya, misalnya Jingga dan
Senja, Jingga dalam Elegi, Jingga untuk Matahari dan Fairish yang ceritanya
masih membekas hingga saat ini. Meskipun bukan termasuk novel favorit,
novel ini sangat layak untuk dinikmati. Teruslah
membaca dan perluas imajinasimu! Happy reading!
Akan selalu ada jalan keluar untuk setiap permasalahan. Pasti. Karena Tuhan telah mengaturnya seperti itu.
Komentar
Posting Komentar