Review Novel : Belajar Menghargai Setiap Detik yang Berharga dari ‘The Truth About Forever’ Karya Orizuka

 

Review Novel : Belajar Menghargai Setiap Detik yang Berharga dari ‘The Truth About Forever’ Karya Orizuka

 

cover baru

 

cover lama 

Judul : The Truth About Forever

Penulis : Orizuka

Tahun terbit : 2013

Penerbit : Gagasmedia

Tebal : 301 halaman

 

Seberapa berharga sih satu detik itu? Tik.
Sebentar saja dia langsung berlalu. Tik.
Satu detik pergi lagi. Tak ada harganya.

Tapi tunggu sampai kau sadar waktumu hampir
habis. 
Tik. Kau ingat selama ini jarang beramal. Tik.
Kau teringat mimpi-mimpi yang nggak sempat kau
wujudkan. 
Tik. Kau sadar nggak cukup menyayangi
keluarga dan teman-temanmu.

Tik. Tik. Tik. Kau panik,
takut menyia-nyiakan lebih banyak waktu lagi.

           REVIEW

Lagi-lagi karya Orizuka membuat jatuh hati. Setelah Call Me Miss J, pilihanku selanjutnya adalah novel berjudul The Truth About Forever. The Truth About Forever pertama kali terbit pada tahun 2008 dengan dominasi warna hijau muda di cover-nya. Sementara itu, novel yang aku miliki merupakan novel terbitan 2013, di mana cover sudah lebih modern dengan dominasi warna ungu. Keduanya sama-sama bergambar pohon tanpa daun, bedanya cover lama dihiasi dengan burung-burung yang berterbangan, sedangkan cover baru dipercantik dengan buah-buah yang berguguran. Pohon tak berdaun ini seakan menggambarkan sosok Yogas-yang tak memiliki masa depan lagi setelah kejadian enam tahun lalu menimpanya, menghancurkan mimpinya, merebut kebahagiaannya dan membuatnya tertatih seorang diri. Tanpa seorang pun di sisinya, ia mencoba bertahan dan tak ingin terlihat lemah-berbenteng sikap kasar dan keras kepalanya hingga ia bertemu Kana.

Novel ini cocok dibaca untuk berbagai usia, baik remaja dan dewasa karena mengusung tema kehidupan. Tidak melulu tentang romansa picisan, Orizuka membuktikannya kembali melalui novel ini. Meskipun readers akan digiring ke kehidupan cinta pertama Kana, namun banyak hal lain yang juga dituliskan di sini (Hati-hati, bagian ini mengandung spoiler!). Dari Yogas misalnya, sebagai pembaca, aku memahami bagaimana kehidupan orang-orang sepertinya-yang menderita penyakit mematikan dan dijauhi karena takut tertular. Padahal, penyakit yang ia derita tidak menular semudah itu, apalagi hanya melalui kontak fisik. Kehidupan Yogas yang menyedihkan dan kesepian, membuat readers tersadar bahwa ada banyak Yogas lain yang mengalami hal serupa. Mereka dijauhi karena mereka sakit, padahal saat-saat itulah mereka sangat membutuhkan tempat bersandar.

Mengamati dari karakter Yogas lainnya, readers bisa belajar untuk iklas dan bertahan. Kejadian yang Yogas alami sangat tidak adil untuk laki-laki sebaik dirinya, apalagi bukan kesalahannya sama sekali. Namun Yogas tetap bertahan-meskipun dengan motivasi balas dendam, ia melanjutkan hidupnya perlahan-tanpa ada siapapun dan hanya ia seorang. Beralih pada karakter Kana, sosok yang ceria dan apa-adanya, readers bisa belajar bahwa setinggi apapun impian yang dimiliki, pasti akan tercapai suatu saat nanti. Memang butuh usaha dan kerja keras, namun Kana membuktikan ucapannya-bahwa ia berhasil menjadi penulis best seller. Kana berhasil memenuhi janjinya, walaupun takdir berkata sebaliknya.

Seperti novel-novel lainnya, Orizuka berhasil mengaduk perasaan readers dengan diksi yang ia gunakan. Pada bagian awal, readers akan tertawa melihat tingkah polah Kana yang begitu konyol, perdebatan gadis itu dengan tetangga kos barunya yang mengundang tawa serta kerandoman gadis itu dan Ono-laki-laki yang tinggal di kos bawah yang medok Jawa-akan membuat terpingkal. Namun, semakin banyak lembar yang terbaca, cerita akan semakin serius. Meskipun masih memuat beberapa bagian yang mengundang tawa, semakin mendekati ending, maka air mata yang akan mendominasi. Perjuangan Kana untuk meyakinkan Yogas yang sekeras batu hingga luapan perasaan Yogas yang telah ia simpan sekian tahun memberi feel tersendiri yang menghanyutkan readers. Cerita begitu mengalir hingga tak terasa ending semakin dekat. Tak lupa pula, cerita ini menghadirkan plottwist-plottwist yang tidak terduga membuat readers tidak akan mudah bosan. Meskipun harus merelakan air mata berjatuhan, novel ini sangat aku rekomendasikan untuk kalian pecinta genre kehidupan. Banyak nilai kehidupan yang disisipkan, terutama tentang mimpi. Meskipun begitu, novel ini tidak cocok dibaca untuk readers penggila misteri ataupun thiller karena didominasi oleh melodrama-yang mengharuskan readers menyiapkan tisu sebelum membaca.

Alur yang digunakan dalam novel ini adalah alur campuran. Cerita diawali dari tokoh Yogas yang pergi ke Yogyakarta. Di sana, ia bertemu dengan gadis lugu dan ceria bernama Kana yang menjadi teman sebelah kos-nya. Setelah itu, cerita difokuskan kepada Kana dan Yogas di mana keduanya bagaikan Tom and Jerry, saling bertengkar karena berbeda kepribadian-Kana yang ceria dan banyak omong, Yogas yang pendiam dan penyendiri. Setelahnya, penulis mulai menceritakan awal konflik, yaitu enam tahun lalu-tepatnya saat Yogas masih SMA. Alasan mengapa laki-laki itu menginjakkan kaki di Yogyakarta hingga bertemu dengan Kana. Klimaksnya adalah saat Kana mengetahui semua hal tentang Yogas dan laki-laki itu mendapati kebenaran-bahwa orang yang dicarinya memiliki penderitaan yang sama. Rasa dendam bertahun-tahun itu pun perlahan luntur, menghilang entah kemana.

Selain hikmah dari kedua karakter tokoh yang disebutkan sebelumnya, banyak nilai kehidupan lain yang bisa diambil. Salah satunya adalah teguran readers untuk lebih menyayangi sesama-apalagi keluarga dan menghindari barang-barang haram, seperti narkoba. Meskipun Yogas tidak berniat menyentuhnya sama sekali, masa depannya hancur karena dunia hitam itu. Tak hanya Yogas yang hancur, namun kedua orang tuanya, sahabat-sahabatnya, Wulan, Kana, dan.... Joe. Sebagai anak orang yang terpandang, hidup Joe seakan sempurna-wajah tampan, keluarga terpandang, harta melimpah dan memiliki banyak teman. Namun ternyata, kehidupannya tidak sesempurna yang terlihat. Ia bahkan merasa iri dengan kehidupan Yogas yang sederhana namun memiliki keluarga yang hangat. Kesepian Joe itu mengantarkan ia menggunakan barang haram dan teman-teman premannya, dan itulah awal kehancuran mereka.

 Tangan Kana terkepal keras. Karena benda haram seperti narkoba, hidup dua orang anak cowok sudah hancur. Mengapa benda-benda seperti harus ada di dunia? Mengapa orang-orang tidak bisa lebih saling menyayangi sehingga tidak ada orang yang putus asa dan terjerumus ke dalam dunia hitam seperti ini? (2013 : 272)

Keluarga adalah orang pertama yang akan menerima segala baik-buruknya seseorang, memberikan bahu untuk sandaran dan menjadi tempat untuk pulang. Oleh karena itu, saat badai besar datang, keluarga harus selalu berpegangan tangan-saling menguatkan dan berusaha bersama-sama menghalau. Namun, Joe dan Yogas tak merasa seperti itu. Sedari awal, Joe tidak nyaman dengan keluarganya-yang mengabaikannya dan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sedangkan Yogas, hidupnya berubah setelah vonis itu terlontar. Keluarganya perlahan retak-ayahnya pergi meninggalkannya dan ibunya mulai membangun dinding tak kasat mata.

 Saat itu, yang tahu cuma orangtuanya dan aku. Aku kebetulan ada di rumah sakit saat dokter ngasih vonis itu. Waktu itu, aku masih anak-anak, aku masih terlalu ngeri dengan kata-kata HIV. Setelah tahu Yogas punya virus itu, aku langsung menjauh,” kata Wulan sambil terisak. “Bukan cuma aku, tapi kedua orangtuanya juga menjauh. Mereka seperti aku, malu dan takut karena penyakit itu. Eno yang nggak tahu apa-apa memang nggak menjauh, tapi Yogas yang malah ngejauhin dia.” (2013 : 218)

Sebagai mahluk tak sempurna, Yogas pantas memimpikan kebahagiaan untuk dirinya. Namun, vonis dokter membuat hidupnya tak lagi berharga. Ia merasa tak lagi bernyawa. Hidupnya hanya ia pertahankan untuk membalas dendam. Namun, Kana menyadarkannya bahwa meskipun ia sakit, meskipun ia hanya bernapas tanpa bisa membanggakan siapapun, ia tetap berharga dan pantas untuk bahagia. Meskipun telah divonis tidak berumur panjang, Yogas masih memiliki harapan untuk menggapai impiannya dan hidup bahagia dengan orang-orang yang disayanginya.

 Punya penyakit bukan berarti kamu nggak bisa bahagia,” kata Kana yang terdengar merdu di telinga Yogas. “Kalo nggak ada yang nemenin kamu, aku yang bakal nemenin.” (2013: 124)

Novel ini juga mengajarkan untuk saling memaafkan. Dari sosok Yogas, readers seakan tertampar bahwa dengan memaafkan diri sendiri ataupun orang lain, hidup akan terasa lebih mudah. Hidup Yogas yang awalnya penuh dengan kekecewaan dan dendam, perlahan mulai memaafkan orang-orang yang telah meninggalkannya-Wulan, kedua orang tuanya dan Joe. Ketulusannya membuatnya dikelilingi orang-orang yang peduli kepadanya, walaupun takdir seakan mempermainkannya.

Yogas menoleh dan menatap Wulan lama. Gadis ini dulu pernah dicintainya sepenuh hati. Gadis ini juga yang sudah meninggalkannya dan kembali lagi untuknya, bahkan mendukungnya untuk bahagia bersama orang lain. Yogas tidak bisa lebih berterima kasih lagi padanya. (2013:231)

Karakter Yogas juga menampar readers untuk selalu bersyukur karena sehat. Bagi sebagian orang, mereka lupa bahwa kesehatan merupakan anugerah yang tidak bisa ditukar dengan kebahagiaan apapun-bahkan harta sekalipun. Orang-orang sibuk mengumpat, mengeluh dan merasa dirinyalah orang paling menyedihkan di dunia ini. Mereka sibuk memikirkan cara untuk menyakiti diri sendiri, padahal banyak orang yang ingin sekali hidup dan sehat-dan selalu berusaha untuk itu.

“Kalo begini terus... dia bisa bikin gue nggak mau mati. Dia bisa bikin gue maruk mau hidup,” lanjutnya.

“Kalo gitu, hidup Gas,” balas Eno.

“No, gue mau hidup,” ujar Yogas, air matanya sudah mengalir. “Gue nggak mau mati. Tapi gue bisa apa? Gue udah divonis, No. Dan gua nggak bisa liat dia menderita nantinya.” (2013 : 167-168)

Tak ada kata menyerah untuk mimpi. Mungkin itulah salah satu nilai kehidupan yang mendominasi dari kisah ini. Mulai dari impian Kana yang rasanya mustahil, menjadi nyata dan Yogas yang merasa tak memiliki harapan, mulai meraih mimpinya kembali. Sosok Kana yang ceria dan selalu optimis mengajarkan readers untuk bersungguh-sungguh mengejar mimpi-tanpa peduli apa hasilnya nanti. Karakter inilah yang bisa dicontoh untuk remaja millenial yang ingin serba praktis di masa modern ini. Tidak ada yang tidak mungkin, jika seseorang mau berusaha bukan? Bahkan untuk orang yang tidak sakit pun, waktu terlalu berharga untuk di sia-siakan begitu saja, karena waktu tidak akan terulang kembali.

“Gas, aku tahu kamu memang sakit. Tapi, apa sekarang kamu lumpuh? Apa sekarang kamu cacat? Nggak, kan?” seru Kana membuat Yogas kaget. “Bahkan orang cacat pun nggak berhenti bermimpi! Kamu masih bisa jadi apapun yang kamu mau!”

“Kalo sekarang gue berusaha pun belum tentu ntar gue bisa jadi sutradara!” sahut Yogas balik.

“Tapi, itu lebih baik daripada kamu nggak ngelakuin apa pun!” sahut Kana lagi. “Seenggaknya kamu udah berusaha, itu yang penting!”

Yogas terdiam mendengar kata-kata Kana. Kana menghela napas.

“Gas, orang yang udah tahu bakal mati dan hanya diam menerima nasib itu orang yang paling menyedihkan,” lanjut Kana. “Semua orang tahu mereka mungkin saja mati besok, tapi nggak ada yang cuma diam menunggu kematiannya. [...] Kalo bener kamu cuma hidup lima tahun lagi, berarti kamu harus bisa menghargai setiap harinya,” ucap Kana. “Bahkan, setiap detiknya. Karena cuma tinggal lima tahun, makanya jangan biarkan sedetik pun berjalan begitu aja.”

Nah, itu tadi komentar aku tentang novel Orizuka ini. Meskipun aku sangat mengapresiasi penulis yang berani mengambil resiko dengan ending tersebut, aku sempat berharap bahwa kenangan yang Kana dan Yogas lalui bersama lebih banyak-karena mereka pantas untuk bahagia. Cerita mengalir tanpa membosankan dan alur terasa pas-tidak terlalu cepat atau terlalu lambat. Perasaan readers pun berhasil diombang-ambing dengan baik. Intinya, aku sangat puas dengan karya Orizuka untuk ke sekian kalinya. GOOD JOB MBAK ORI!! Sekian dulu ya tulisanku kali ini! Teruslah membaca dan perluas imajinasimureadersHappy reading!

   “Gas, lo tau nggak jatuh cinta itu apa? Artinya lo jatuh ke dalam cinta tanpa disengaja. Jadi, walaupun lo nggak mau jatuh, lo bakalan tetep jatuh.”(2013 : 88)

 


Komentar

Postingan Populer