Review Novel : Meraih kebahagiaan dengan Memaafkan Diri Sendiri melalui U-turn Karya Nadya Prayudhi
Review Novel : Meraih kebahagiaan
dengan Memaafkan Diri Sendiri melalui U-turn Karya Nadya Prayudhi
Penulis : Nadya Prayudhi
Judul : U-Turn
Tahun terbit: 2013
Kota terbit: Jakarta
Penerbit: PlotPoint Publishing
Jumlah halaman: 228 halaman
Karin selalu takut mencintai dirinya. Hampir separuh hidupnya ia mencari cinta dari orang lain. Baginya, itu jauh lebih mudah. Namun, kini orang yang dia pikir akan jadi cinta terakhirnya memutuskan untuk pergi.
Kehilangan Bre memaksa Karin kembali beradu dengan luka-luka hidupnya yang masih menganga. Dunianya kini jadi jungkir balik. Kini Karin terpaksa melihat kembali ke titik-titik penting perjalanan hidupnya. Mulai dari saat Bre menatapnya dalam mobil waktu itu. Mulai dengan mencari penebusan pertanyaan Bre: “Karin, apa benar—lo dulu pernah membunuh orang?
Kini hidupnya terhenti. Karin tahu dia tidak lagi bisa terus berjalan. Dia harus berbalik.
ULASAN BUKU
Seperti biasa, membaca novel memiliki kesenangan tersendiri untuk para pembacanya-termasuk aku. Beberapa novel yang pernah kubaca tetap menyenangkan untuk dibaca kembali, salah satunya novel karya Nadya Prayudhi berjudul U-Turn. Cover novel ini didominasi warna cokelat muda dengan desain sederhana, namun menarik. Terdapat seorang perempuan yang menghadap ke samping-melihat dirinya sendiri yang tenggelam sendirian. Perempuan dalam gambar ini seakan menggambarkan sosok Karin yang masih dihantui masa lalu dan memilih untuk melarikan diri menghindarinya.
Meskipun masih memuat unsur romansa, novel ini berfokus pada masa lalu Karin-terutama dengan Abi yang meninggal saat Karin masih sekolah. Luka kematian Abi- ditambah rasa bersalahnya membuat Karin menjadi gila. Ia sering dihantui bayang-bayang menakutkan yang membuatnya harus berobat agar tidak benar-benar gila. Hal inilah yang membuat cerita ini menarik dan berbeda dengan cerita romansa lainnya.
Apalagi, U-Turn juga memuat tentang gay. Bagaimana kaum yang dianggap tidak waras itu begitu hina di mata orang lain, dianggap berbeda, sakit, memalukan seakan-akan mereka tidak pantas untuk hidup. Padahal mereka juga manusia-yang masih bernapas, masih bisa tertawa, masih bisa menangis dan masih bisa mencintai meskipun sesama jenis. Penulis seakan-akan menonjolkan permasalahan yang masih tabu ini agar pembaca bisa memahami posisi Abi dan Chuan-yang juga tidak menginginkan dirinya mencintai sesamanya, yang menyalahkan dirinya karena mencintai orang yang salah, yang memendam perasaannya karena tidak bisa memiliki dan bagaimana mereka berusaha untuk menjadi lebih baik di tengah tatapan menjijikan orang-orang di sekeliling mereka.
(Nb: Saya tidak mendukung mereka, tapi terlalu berlebihan rasanya kalau kita mem-bully mereka dengan kekerasan bukan?)
Aku pikir, cerita ini sebanding dengan lamanya waktu yang dibutuhkan penulis untuk menciptakannya-yang kabarnya selama 9 tahun itu. Setiap karakter dalam cerita memiliki porsi yang pas sehingga penulis tidak hanya menonjolkan kedua pemeran utama. Selain itu, banyak misteri yang mengejutkan-tidak terbayang sebelumnya sebelum bagian itu terlihat, membuat readers penasaran dan merasa harus menuntaskan isi hingga selesai sebelum menutupnya. Penulis berhasil menguras emosi readers melalui tokoh-tokohnya dan itu menjadi nilai plus tersendiri dalam cerita ini.
Meskipun banyak plus-nya bagiku, tentu novel ini tidak sempurna. Alur yang maju-mundur membuatku sebagai pembaca sempat bingung dengan alurnya, karena ada beberapa part yang mendadak mundur namun tidak ada keterangan sebelumnya. Selain itu, terdapat part-part yang kurang sinkron seperti waktu kematian Zara-pada part pertama (halaman 122), kematian Zara diumumkan setelah tiga hari kejadian itu, sedangkan part kedua waktu kematian Zara dua minggu setelah kejadian itu. Meskipun begitu, minus yang kutemukan itu tidak membuat rasa puas itu tergantikan-meskipun sempat membuat bingung.
Novel ini hanya direkomendasikan untuk remaja di atas 18 tahun ke atas. Bukan karena terdapat seks atau semacamnya, melainkan gaya hidup Karin yang tidak patut ditiru untuk anak di bawah umur. Latar tempat cerita yang berada di luar negeri-seperti Kuala Lumpur dan Pasadena membuat gaya hidup di sana termuat pula dalam cerita. Gaya hidup seperti mabuk-mabukan, berdisko di bar, minum-minum, one night stand, bahkan menyakiti diri sendiri tentunya tidak bijak dibayangkan oleh remaja di bawah umur, bukan?
Alur yang digunakan dalam cerita ini adalah alur campuran (Hati-hati, bagian setelah ini mengandung spoiler!), dimulai dari konflik-yaitu perpisahan Karin dan Bre, lalu disusul adanya pengenalan-kembali ke masa lalu Karin hingga pertemuannya dengan sutradara itu, klimaks- seluruh rahasia menyeruak dan begitu menyakitkan untuk setiap tokoh, antiklimaks- ketiga tokoh utama yaitu Karin, Bre dan Icha saling meluapkan luka mereka yang ternyata saling berhubungan, penyelesaian-ketiga tokoh mulai memaafkan, baik diri mereka sendiri ataupun orang yang mereka benci dan melangkah ke depan tanpa bayang-bayang masa lalu.
Banyak nilai kehidupan yang bisa diambil dalam novel U-turn karya Nadya Prayudhi ini, salah satunya masa lalu memang tidak akan pernah menghilang dari kehidupan seseorang, untuk itu jangan berdiam diri-atau melarikan diri dalam masa lalu dan berusahalah putar balik demi masa depanmu. Hal inilah yang dialami tokoh-tokoh dalam cerita ini-Karin, Bram, Icha dan Chuan. Mereka terkungkung di dalam masa lalu dan sulit untuk mengeluarkan diri. Untuk menghadapi masa lalu itu, Karin memilih untuk melarikan diri sejauh-jauhnya. Memang berhasil awalnya, namun luka itu kembali membayanginya meski bertahun-tahun kemudian.
Penyesalan selalu datang terlambat. Ya. Memang begitulah adanya kehidupan. Semua tokoh dalam cerita mengalaminya. Karin menyesal karena menemui Zara, Zara menyesal karena mem-bully Abi, Bram menyesal karena tidak melindungi Abi dan Icha menyesal karena terlambat datang menemui Zara. Semua rentetan kejadian masa lalu mereka terhubung dan menyisakan luka-luka penyesalan di dalamnya hingga membuat mereka melarikan diri-pergi sejauh-jauhnya, mencari kesenangan dengan one night stand, mabuk-mabukan hingga menyakiti diri sendiri. Tentu hal ini akan menimbulkan dampak kurang baik bagi mereka sendiri. Oleh karena itu, perlu kepala dingin untuk menyelesaikan masalah-dan kekerasan bukan solusi sama sekali.
Mungkin benarlah adanya istilah ‘cinta tak peduli logika’. Hal ini terjadi dalam Karin yang begitu mencintai-memuja dan terobsesi kepada Vicky, mantan pacarnya yang ditemuinya saat di Bali. Meskipun awalnya penuh dengan bunga, perlahan Vicky mulai mengasari gadis itu. Namun, Karin seakan buta dan menikmati setiap pukulan yang ia terima dari kekasihnya itu. Hingga lelaki itu pergi meninggalkannya tanpa sepucuk surat ataupun pemberitahuan apapun. Apalagi sebagai perempuan, tentu kita tidak ingin hal itu terjadi pada diri sendiri. Oleh karena itu, bijaklah untuk memilih pasangan sesuai pilihan terbaik dan tidak akan menyakiti-baik fisik maupun mental.
Pembullyan lagi-lagi menjadi awal mula rentetan kejadian ini terjadi. Zara yang mem-bully Abi yang dianggap memiliki kelainan karena mencintai sesama jenis, hingga membuat Abi meninggal dunia. Sekolah pun seakan-akan menyudutkan laki-laki malang itu karena dianggap berbeda. Padahal Abi tidak merugikan siapapun. Meskipun ia mencintai sesamanya, ia tidak memaksakan perasaannya kepada orang lain dan hanya memendamnya untuk dirinya sendiri. Kenyataan ini banyak terjadi di dunia saat ini-di mana gay dan lesbi masih dianggap tabu dalam budaya masyarakat, membuat orang-orang tersebut tersudutkan hingga merasa tidak percaya diri.
Terkadang kebahagiaan tak perlu dicari jauh-jauh, namun bisa didapatkan melalui sekeliling kita-tidak harus mengeluarkan banyak uang, tidak perlu bergantung pada orang lain, apalagi bergantung pada obat-obatan. Karin menyadari hal itu setelah rentetan rahasia itu menyeruak dan membuatnya begitu terluka. Selama ini, ia mencari kebahagiaannya dengan melarikan diri ke berbagai daerah-bahkan negeri hingga Pasadena. Namun nyatanya, kebahagiaannya bisa ia temukan di kampung halamannya sendiri- bersama Bre dan ayahnya-dan tentu saja tanpa obat-obatan palsu itu.
Belajar dari hubungan Karin dan Bre, pondasi utama suatu hubungan adalah kejujuran. Hal ini juga terselip dalam ucapan ayah Karin saat menasehati Bre saat lelaki itu berkunjung. Jika seseorang mulai berbohong dan menyakiti pasangan, maka luka itu akan membekas dan menjadi jarum kasat mata dalam hubungan tersebut. Apalagi jika pengkhianatan itu membuat trauma, karena sejatinya perasaan seseorang layaknya kaca-apabila ia pecah maka tak akan kembali seperti semula.
“Kamu tahu apa yang paling dia kagumi dari Om? Om adalah orang yang paling jujur yang Karin kenal. Dan, pada kejujuran itu, juga Om terapkan keberanian.” (2013:184)
Demikianlah review novel berjudul U-Turn yang ditulis dengan sangat bagus oleh Nadya Prayudhi. Secara keseluruhan, aku sangat puas dengan novel ini. Selain meningkatkan rasa penasaran saat membacanya, emosi yang digambarkan melalui tokohnya sangat mengaduk perasaan sehingga aku-sebagai pembaca larut dalam cerita yang disajikan. Meskipun begitu, kuharap pembaca bisa bijak untuk memilih bahan bacaan karena novel ini termasuk cerita yang tidak bisa dibaca oleh remaja di bawah umur. Sekian dulu ya tulisanku kali ini! Thankyouuuu!! :)
Teruslah membaca dan perluas imajinasimu! Happy reading!
“Tuntaskan segala permasalahan yang kamu punya. Ayo, Karin, make a u-turn and you’ll be happy. Like me.” (2013:192)
Komentar
Posting Komentar