Review novel : Menilik Sunset yang sempurna melalui novel My Perfect Sunset oleh Kyria
Judul : My Perfect Sunset
Penulis : Kyria
Penerbit : Bentang Pustaka
Terbit : Februari 2013
Halaman : 369
"Bertemu denganmu pastibukanlah sebuah kebetulan,melainkan rencana Tuhanyang saling mengesankan."
BLURB
Tak
pernah aku bermimpi akan bertemu denganmu dengan cara seperti ini. Bagiku,
dirimu bukanlah sosok yang kuharapkan untuk datang. Menghampiri, lalu
menawariku sejuta harapan, mengajakku tidak bosan tertawa, dan setia menjadi
sandaran sedu sedan tangisku.
Namun
di ujung sana, sosok yang sempurna menungguku dengan sabar. Menantiku
merengkuhnya dengan beribu rasa rindu, memohonku dengan tulus untuk membuka
pintu, dan mengharap sapaan “Sayang” kembali terucap dari bibirku.
Hatiku
tak kuasa memilih, haruskah aku melupakanmu. Sekalipun kau yang mampu
menyunggingkan senyum di wajahku, sekalipun kau yang menghapus air mata dari
kedua pipiku, dan sekalipun kau yang mampu mewarnai hidupku.
Walau
sejujurnya aku, seorang Indah, tidak ingin melepaskan sosok Satria ataupun
Kevin. Egois memang. Meskipun kenyataan berkata, bahwa untuk meraih sunset yang
sempurna, kita harus memilih dan memutuskan.
ULASAN BUKU
Bagi beberapa orang membaca merupakan salah satu kegiatan yang menyenangkan, salah satunya membaca novel. Namun beberapa orang terkadang bingung, buku bacaan apa yang ingin mereka baca. Untuk itulah, sebelum membeli atau membaca, akan lebih baik jika mencari sinopsis atau review tentang buku tersebut terlebih dahulu. Tujuannya agar bisa mendapatkan kepuasan terhadap buku yang kita baca. Salah satu buku bacaan novel yang saya rekomendasikan adalah novel romansa berjudul My Perfect Sunset yang ditulis Kyria pada 2013 silam. Buku ini diterbitkan oleh Bentang Pustaka yang berlokasi di Sleman, Yogyakarta dan merupakan anggota dari IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia). Dalam tulisan kali ini, saya akan mereview novel berjudul My Perfect Sunset ini-kelebihan dan kekurangannya dan nilai kehidupan yang bisa diambil darinya. Selamat membaca! 😊
Seperti
judulnya, my perfect sunset merupakan sebuah novel berisikan kehidupan
cinta seorang gadis teller bank bernama Indah. Insiden perampokan yang
ia alami mempertemukannya dengan Satria, seorang laki-laki menyebalkan, genit,
seenaknya namun memiliki hati yang tulus dan hangat. Tak hanya mengangkat tema
percintaan, novel yang diterbitkan pada 2013 silam ini banyak menggambarkan
permasalahan dalam keluarga yang masih relevan hingga saat ini seperti
penyesalan masa lalu Satria yang kelam hingga kasus kekerasan dalam rumah
tangga.
Tema yang digunakan oleh Kyria sebenarnya memang banyak digunakan oleh penulis lainnya, yaitu percintaan antara dua orang yang memiliki karakter berlawanan. Meskipun begitu, Kyria mampu menggambarkan kisah tersebut dengan menyenangkan dan tidak membuat bosan. Ia pun menambahkan banyak bumbu konflik sehingga membuat novel ini berwarna, mulai dari masa lalu Satria yang digambarkan di tengah-tengah, kekerasan rumah tangga yang dialami Karina, penyesalan Kevin dan perjuangan para tokoh-terutama Satria dan timnya untuk meraih mimpi mereka. Penggambaran karakter tokoh-tokoh utama sangat detil dan tidak terkesan over sehingga pembaca bisa memahami mengapa keempat tokoh utama berpikir dan bertindak seperti itu. Dalam karakter tokoh-tokohnya yang berbeda-beda itupun, penulis seakan menyisipkan nilai moral yang bisa ditiru oleh pembaca-baik itu tokoh utama ataupun tokoh pendukung.
Alur
yang digunakan dalam novel ini adalah alur campuran karena memiliki tahapan konflik
(saat Indah dirampok) - pengenalan - klimaks - penyelesaian. Namun, dalam
beberapa scene, Kyria juga menyisipkan kisah masa lalu tokohnya dalam bentuk
narasi ataupun percakapan sehingga pembaca tak kesulitan memahami alur cerita. Ada
beberapa plot twist yang tidak mudah
ditebak juga-seperti keluarga Satria yang tiba-tiba datang menontonnya saat
pertandingan nasional, Satria yang memukul Kevin dan Kevin yang mengalami
kecelakaan mobil. Hal ini membuat pembaca tidak mudah bosan dan ingin segera
menyelesaikannya karena rasa penasaran. Melalui tulisan pula, penulis
benar-benar berhasil membuat perasaan pembaca bercampur aduk-sedih, haru,
gembira, tertawa hingga menangis sesuai dengan situasi tokoh. Bahkan
perhatian-perhatian yang Satria berikan kepada Indah tidak terkesan lebay atau
picisan, begitupun sebaliknya. Meskipun begitu, karakter yang mendominasi dalam novel ini hanya tokoh-tokoh utama seperti Satria, Indah, Kevin dan Karina. Padahal, ada banyak cerita karakter lain yang sebenarnya menarik untuk diceritakan lebih dalam seperti Citra (putri pelatih Andika), Tyo dan David (sahabat Satria), Tita (adik Satria), ayah Satria dan Ami (sahabat Indah). Sisi positifnya adalah hal ini membuat cerita terfokus dan tidak melebar kemana-mana. Namun di sisi lain, kurangnya penjelasan masa lalu tokoh ini membuat pembaca meninggalkan beberapa pertanyaan yang belum terjawab, misalnya bagaimana perasaan ayahnya meninggalkan Satria, menyesalkah? bahagiakah? Atau mengapa ayahnya pergi tanpa berpamitan kepada Satria? Namun, hal ini tidak terlalu mengganggu kepuasan saya terhadap cerita dalam novel ini.
Novel ini
cocok dibaca untuk remaja ataupun dewasa karena tema yang diusung adalah
percintaan sehingga tidak cocok digunakan untuk anak-anak. Apalagi bagi mereka
yang menyukai kisah sederhana yang tidak mengharuskan pembaca banyak berpikir,
namun juga tidak membosankan. Penulis juga berhasil menggambarkan sunset-yang
merupakan judul buku tersebut dengan makna konotasi yang indah secara tersirat.
Sunset dalam buku ini tidak hanya matahari yang akan terbenam saat hari
mulai senja, melainkan impian yang diperjuangkan oleh tokoh-tokohnya-Satria
dalam tinjunya dan Indah dalam fotografinya. Berkat Satria, Indah berhasil
menemukan kembali sunset-nya yang telah lama hilang karena ketakutannya
akan kesuksesan yaitu dunia fotografi.
Seperti novel-novel pada umumnya, banyak nilai kehidupan yang bisa diambil
dari karya yang ditulis Kyria ini (Perhatian : bagian ini mengandung spoiler!).
Salah satu moral yang bisa diambil dalam novel ini adalah tidak memandang
seseorang berdasarkan bagian luar saja, karena sesuatu yang terlihat belum
tentu menjadi kebenaran. Moral ini dapat kita petik pada Bab 15 yaitu
sebagai berikut.
“Begitu
kau melakukannya?” bentak Indah. Satria hanya bisa melihat ia sangat geram. “Kenapa
kau melakukannya!? Kau kan, yang sudah memukul Kevin dan menyebabkannya masuk
rumah sakit pagi ini?” Ia mendekat, menatap tajam.
“Benar,”
Satria tidak mengelak. “Aku...”
Plak!!
Sebuah tamparan sangat keras dirasakan Satria menyengat pipinya.
“Laki-laki
barbar! Berandalan!! Menyebalkan!!” Pekik Indah, suaranya bergetar. “Apa kau
sadar apa yang kau lakukan? Kevin terbaring di rumah sakit sekarang! Kesakitan dan sangat
menderita! Tak bisakah sekali saja kau menggunakan kepalamu sebelum tinjumu?” (Kyria.
2013 : 190)
Pada
kutipan tersebut, Indah menyerbu Satria dengan kemarahannya padahal lelaki itu
belum menjelaskan semuanya. Untunglah, kebenaran perlahan datang kepada Indah
sehingga ia merasa begitu menyesal telah menyakiti perasaan penyelamatnya itu. Hal
ini terdapat dalam scene selanjutnya, yaitu sebagai berikut.
Sepanjang
jalan Indah berusaha menahan diri. Ia bisa merasakan dadanya sesak menyakitkan,
seperti menelan sesuatu yang berduri, terasa sangat mendesak dan menusuk-nusuk
ke seluruh dada dan tenggorokkannya. Saat itulah pikirannya kembali kepada Satria.
’Aku telah membuat kesalahan. Aku pasti telah menyakiti hatinya...’ pikirnya penuh
sesal. Dan kemudian beralih kepada Kevin lagi. Kevin.. ia tidak mampu berpikir
lagi. Dasar berengsek!! Indah sungguh-sungguh merasakan kebencian menggeliat
kembali dalam hatinya kepada pria yang pernah dicintainya sepenuh jiwa dan raga
itu. (Kyria. 2013 : 209)
Dalam kutipan-kutipan
tersebut, dapat terlihat bahwa Indah sudah salah menilai Satria dan Kevin. Karakter
Satria yang digambarkan urakan, santai, tidak kuliah dan seorang petinju
membuat Indah menghakiminya bersalah karena sudah memukul Kevin. Apalagi Kevin
merupakan seorang pekerja kantoran yang tidak nakal dan suka
kekerasan seperti Satria. Padahal, Satria memukul Kevin karena alasan yang
kuat dan masuk akal. Ia pun terlanjur kecewa karena Indah tidak memercayainya
dan menghakiminya tanpa mendengar penjelasannya terlebih dahulu. Indah akhirnya
menyadari bahwa Satria yang awalnya ia pandang sebagai laki-laki nakal yang
suka kekerasan, kekanakan dan suka seenaknya merupakan laki-laki baik hati yang
penuh luka dan begitu tulus mencintainya. Sedangkan Kevin yang sudah ia kenal
bertahun-tahun sebagai pribadi sempurna-tampan, kaya, karier bagus dan idaman
para wanita- tak lebih dari seorang peselingkuh yang egois mendapatkan
keinginanannya.
Selain
itu, dalam kutipan tersebut, moral yang bisa diambil adalah permasalahan yang
datang harus diselesaikan secara dingin sehingga terjalin komunikasi yang baik
dan tidak menimbulkan kesalahpahaman. Hal ini terlihat dari scene Indah
langsung menemui Satria ke sasana ia berlatih dan menghakiminya-bahkan menampar
lelaki itu- setelah Kevin mengatakan bahwa Satria memukulnya saat ia akan pergi
bekerja. Indah tak mau repot mendengarkan alasan Satria memukul pacarnya itu
dan lebih memercayai pacarnya yang menurutnya tak pantas untuk
dipukul. Hal ini sangat menyakiti perasaan Satria hingga ia tidak berniat untuk
menyelesaikan kesalahpahaman tersebut dan menjadi berlarut-larut. Akhirnya, kebenaran
terungkap dan Indah sangat merasa menyesal telah menyakiti perasaan Satria
dengan kata-katanya yang kasar.
Dari karakter
Satria yang begitu tulus mencintai Indah, pembaca bisa menyadari bahwa jika
seseorang benar-benar jatuh cinta, maka ia tidak akan menuntut pasangannya
untuk menjadi seperti yang ia inginkan. Namun ia akan selalu berusaha untuk
membuat pasangannya merasa bahagia-dengan atau tanpa dirinya. Itulah yang akhirnya
Indah rasakan juga. Salah satu scene yang menggambarkan hal ini adalah sebagai
berikut.
Indah
berusaha menguatkan dirinya. Perasaan cintanya kepada Satria, jauh berbeda
daripada perasaaan cinta yang pernah ia rasakan kepada pacar-pacar sebelumnya.
Dahulu,
saat tahu ada seorang pria yang jatuh cinta kepadanya, ia akan meminta banyak
hal. Penuh tuntutan dan hanya memikirkan keinginannya sendiri.
Baginya,
jika pria itu tak sanggup memenuhi keinginannya, berarti pria itu tak sungguh
mencintainya. Indah yang dahulu pasti segera mendeklarasikan perasaannya kepada
Satria tanpa memikirkan apapun dan akan sangat bahagia jika Satria mengorbankan
sesuatu yang berharga untuknya.
Cara Indah
mencintai dahulu memang pongah. Namun, sekarang tidak begitu. Sekarang Indah
hanya ingin melakukan sesuatu demi Satria. (Kyria. 2013 :
243)
Nilai kehidupan
lainnya bisa diambil dari novel ini adalah bersyukur dengan apa yang
dimiliki saat ini. Orang yang terlihat sempurna seperti Karina misalnya-cantik,
kaya raya, berasal dari keluarga terpandang, memiliki suami yang tampan-
ternyata tidak pernah bahagia dalam hidupnya. Hal ini digambarkan secara
langsung oleh penulis, baik dalam bentuk narasi maupun percakapan antara Karina
dan Kevin, di antaranya sebagai berikut.
Wanita
cantik dengan tubuh semampai bak model dan kulit putih mulus. Sejak masih
remaja dia sudah menjadi incaran para pria. Kurang perhatian dari ayah dan
ibunya yang lebih sibuk mengurus kehidupan sosial daripada rumah tangga,
membuat Karina haus akan perhatian, dan perhatian dari pria-pria di sekelilingnyalah
yang selalu membuatnya senang.
Karena
itulah, Karina terbiasa berpindah dari satu pria ke pria lain. Mereka tertarik
dengannya yang sangat mudah didekati, pembawaannya yang manja dan cara bicaranya
dan berprilaku menggoda. Karina sendiri mudah sekali lengket dan mengekor
kepada para lelaki hanya dengan disodori seucap kata ‘sayang’. Karina tidak
benar-benar peduli bahwa mereka hanya mengincar fisik atau uangnya. ((Kyria.
2013 : 136)
Scene lainnya
yang menggambarkan nilai kehidupan ini adalah sebagai berikut.
Akan tetapi,
ternyata setelah menikah, Bram berubah memusuhi, memperlakukan Karina dengan
kasar. Ia sering tak menghiraukan Karina sebagai istri dan merendahkannya. Mereka
sering cekcok dan Bram sering menghinanya.
Karina
pernah melawannya dan bertengkar hebat. Saat itulah tamparan Bram kali pertama
melayang. Selanjutnya, Bram sangat mudah memukul Karina. Ia tak pernah berani
bicara kepada siapapun, termasuk kepada orang tuanya.
Ayahnya
tak pernah mendahulukan Karina dari apapun. Ia sudah merasa cukup menunjukkan
kasih sayang kepada Karina dan adiknya dengan hujan materi sejak kecil. Karina
pernah mengadu, tanpa mengungkapkan masalah pemukulan, bahwa Bram sering
selingkuh dengan wanita lain. Ayahnya malah berujar bahwa wajar untuk laki-laki
seperti Bram melakukannya, Karina tak perlu menghiraukannya. (Kyria. 2013 : 137)
Selain
itu, dari karakter Satria kita bisa belajar bahwa bermimpilah setinggi
langit dan kejarlah mimpi itu dengan usaha keras, maka kamu akan selangkah demi
selangkah menuju mimpimu. Hal ini digambarkan secara tak langsung dalam
obrolan Satria dan Indah saat mereka memandang sunset di senja hari. Saat
itu, Indah bertanya apa impian Satria dan ia menjawab ingin mejadi petinju juara
dunia (Kyria. 2013 : 164). Dengan usaha yang sangat keras-pada scene menuju
akhir- Satria berhasil menjadi juara nasional dan direkrut oleh pelatih asing
menuju pertandingan internasional. Meski tidak mudah dan terkesan mustahil, Satria
berhasil membuktikan bahwa ia bisa meraih mimpinya.
Selanjutnya,
dari karakter Ibu Mirna-ibu dari Satria kita bisa belajar bahwa keluarga
merupakan orang pertama yang akan menemani kita ketika kita jatuh, dan ibu
merupakan orang yang tidak akan pernah meninggalkan kita. Hal ini tergambarkan
jelas salah satunya pada scene saat Satria akan bertanding untuk merebut
gelar nasional. Ia tidak menyangka ibu dan adiknya akan melihatnya bertanding
dan merasa bersyukur untuk itu. Ia yang awalnya begitu ketakutan saat membayangkan
betapa kecewa ibunya saat tahu ia menjadi petinju, begitu terharu saat ibunya
mengatakan bangga padanya. Berikut bukti kutipan yang menggambarkan situasi tersebut.
“Kau
sudah besar, Satria,” kata wanita itu takjub, membuat putranya membatu. Ia mengusap
lengan Satria. “Kau sudah besar,” ia menahan isakan dengan sebelah tangan.
Satria
menelan ludah, tak tahu benar apa yang harus dilakukannya. Perasaannya tak dapat
diungkapkan. Wanita yang dahulu berkali-kali ia sakiti dengan kata-kata dan
kelakuannya, kini tiba-tiba muncul di hadapannya dan sama sekali tak terlihat
marah. Malah mengusap lengannya dengan lembut dan menatapnya penuh kerinduan. Mata
itu bersinar tegas sekaligus penuh kasih sayang, seperti yang diingatnya dahulu
(Kyria. 2013 : 248).
Selanjutnya,
dari karakter Indah, kita belajar bahwa perempuan tidak harus hanya menyerahkan
dirinya kepada laki-laki-meskipun ia kekasih atau suami. Perempuan harus
mandiri dan bangkit untuk diri sendiri-bukan orang lain. Meskipun sebenarnya ia
bisa dengan mudah bekerja dengan bantuan ayahnya, Indah lebih memilih untuk mandiri
tanpa bantuan ayahnya. Oleh karena itu, ayahnya hanya menghadiahkan sebuah
rumah untuk ia diami saat merantau jauh dari keluarganya di Surabaya. Dari karakter
Indah, perempuan harus berani dan tak gentar walaupun orang yang ia lawan
merupakan laki-laki bertubuh gempal seperti perampok yang menjadi insiden awal
pertemuannya dengan Satria. Indah merupakan gambaran perempuan modern yang mandiri,
berani berpendapat dan tidak gentar terhadap lawan jenisnya.
Selanjutnya,
dari karakter Pelatih Andika, kita belajar bahwa hubungan kekeluargaan tidak
hanya bisa kita dapatkan melalui keluarga kandung, namun juga bisa terjalin
dari orang-orang asing yang memiliki visi misi sama. Sebagai seorang pelatih
dan orang yang lebih tua, pelatih Andika berhasil membuat murid-muridnya merasakan
arti keluarga yang tidak mereka rasakan-seperti Satria yang menemukan sosok
ayah dari beliau. Beliau juga menjadi tempat murid-muridnya berkeluh kesah dan
dengan bijaksana memberikan saran terbaik tanpa menggurui mereka. Hal ini
dibuktikan dari scene-scene berikut ini.
Pak Andika
adalah pelatih sekaligus manajernya. Satria sangat menghormati pria dengan
rambut yang warnanya didominasi abu-abu itu. Ia menganggapnya seperti ayahnya
sendiri (Kyria. 2013 : 109)
“Maaf,”
ulang Satria. Ia meneguk air mineral di hadapannya.
“Satria,
coba ingat semua perjuanganmu. Apa saja yang sudah kau korbankan untuk bisa
sampai di sini? Bukan hanya kau, ini impian semua petinju di klub kita. Jika kau
menyia-nyiakannya, pikirkan perasaan mereka yang sudah percaya kepadamu. Juga mereka
yang sudah mati-matian, tetapi tak kunjung mendapatkan kesempatan ini,” nasihat
pelatih Andika dengan kebijaksanaan yang selalu bisa membimbing Satria dengan
baik.
Pria
itu menepuk-nepuk pundah Satria, “Ingat, jika kau kalah, kau akan punya masalah
baru selain gadis itu. Tapi jika kau menang, setidaknya satu kesuksesan telah
ada dalam genggamanmu. Kau itu petinju! Tetap fokus dengan yang ada di hadapanmu.”
Andika menepuk-nepuk bahu Satria. “Kau pasti bisa!!” (Kyria. 2013 :
112)
Secara
keseluruhan, meskipun memiliki tema yang klise dan sederhana, penulis berhasil
menyajikan kisah percintaan antara Indah dan Satria dengan apik. Pembaca tidak
mudah bosan dan ada beberapa plot twist tidak terduga yang akan menanti.
Meskipun begitu, untuk pembaca yang menyukai genre kriminal, fantasy, horor
atau genre yang mengharuskan banyak berpikir, saya tidak merekomendasikan novel
ini karena novel ini tidak mengharuskan pembaca berpikir terlalu dalam untuk
memahaminya. Ending yang menggantung sebenarnya sempat membuat kecewa,
namun untunglah Kyria telah menuliskan bagian kedua sebagai kelanjutan dari
kisah ini berjudul My Perfect Sunrise.
Demikian
review pertama saya mengenai novel lama berjudul My Perfect Sunset yang
dituliskan oleh Kyria. Karena novel ini merupakan novel lama, tak banyak toko
buku yang masih menjualnya. Jika kamu ingin membacanya, kamu bisa mencarinya di
toko-toko online dengan mudah. Terimakasih sudah membaca.
Bagiku sunrise lebih baik. Saat matahari terbit. Setiap fajar baru adalah harapan baru. Aku tak peduli hari kemarin atau bagaimana nanti. Aku melakukan yang terbaik untuk saat ini. Sekarang. Tak peduli apakah aku bisa melihat sunset-ku yang indah atau sore yang mendung. Jika aku menikmati setiap kesempatan yang datang padaku, apapun hasilnya aku tak akan menyesal – Hardy Prasatria 😉
Komentar
Posting Komentar